“Jujur aja deh, akhir-akhir ini gue ingin dekat sama lo, tapi nggak tahu bagaimana caranya,” ungkapnya lagi.
Masih pagi. Perasaan gue baru memejamkan mata semenit lalu, setelah bangun shalat subuh tadi. Gue bahkan tertidur dengan mukena yang masih melekat di tubuhku. Biasanya suara gaduh terdengar di pondokan ini, setelah lewat dari jam enam. Tapi kini, pintu gue telah diketuk perlahan lalu digedor keras.
“Assalamualaikum! Selamat pagi!” teriak suara itu dari luar.
Gue kenal betul suara itu. Milik Santy, penghuni pondokan yang paling ribut, paling seksi, paling lucu, dan entah paling apalagi. “Pagi-pagi begini mau apa, ya?” pikir gue. Gue bahkan menutup kuping gue dengan guling. Gedoran itu semakin nggak wajar. Ada lagi yang paling khas dari diri Santy, dia selalu merasa punya ide yang heboh. Jangan-jangan pagi ini dia ingin unjuk kebolehan dengan ide hebohnya yang terbaru.
Terpaksa gue bangun. Padahal tidur pagi kali ini amat kubutuhkan sebagai suplemen. Semalam tidur gue agak larut malam karena PR mata kuliah ekonomi gue yang tumben nggak bisa gue selesaikan cepat.
“Morninggggg…..,” ributnya setelah gue bukakan pintu kamar. “Gue dari Ketok Pintu, acara reality show paling berani! Bisa ya, gue masuk?” lanjutnya dengan gaya host sebuah acara reality show, yang selalu “mengobrak-abrik” kamar selebritis.
Buset! Betul-betul cuma iseng, tak ada keperluan apa pun! Gue cuma nyengir, lalu kembali membuang tubuh gue di tempat tidur.
“Pemirsa, gue udah berhasil masuk ke kamar Cintia. Yuk, kita lihat setiap penjuru kamar bintang sinetron yang lagi naik pohon ini, eh naik daun,”
“Nggak lucu tau!” ketus gue sambil menutup telinga dengan guling.
Santy tetap beraksi. Gue dengar dia ceplas-ceplos, menerangkan seluruh isi kamar. Mulai dari meja belajar yang berdampingan dengan lemari pakaian yang katanya terlalu kecil untuk mahasiswi seperti gue. Meski kesal, gue kagum juga dengan ceplas-ceplosnya yang persis dengan presenter Okky Lukman.
“Pemirsa di rumah, mau tahu apa aja isi lemari Cintia? Yuk, kita buka!”
Gue dengar engsel pintu lemariku berderit. Tapi gue belum juga menggubrisnya. Toh, nggak ada barang rahasia di dalamnya.
“Woooww…!” Tiba-tiba dia berteriak. Memaksa gue untuk bangkit dari tempat tidur. Dompet gue sudah ada berada di tangannya.
“Jangan dibuka, San!”
“Ternyata isinya, ada kartu perpustakaan kampus, kartu perpustakaan wilayah, kartu member taman bacaan. Nggak salah deh kalo si Cintia ini jadi bintang kampus tiap tahunnya. Tapi jangan salah, kartu ATM tetap ada lho!”
Gue tak bisa menghalangi aksinya, dia selalu berhasil menghindar setiap gue mendekat untuk mengambil dompet gue.
“Dan pemirsa di rumah,” ucapnya seolah menghadap ke sebuah kamera. “Ternyata Santy bintang pelajar kita ini, nge-fan berat sama Denny. Itu lho, pendatang baru di dunia sinetron.” lanjutnya sambil memperlihatkan foto Denny yang memang sengaja kusimpan di dompet gue.
Melihat foto Denny, air mata gue tiba-tiba meluruh begitu saja. Santy langsung menghentikan aksinya. Bahkan mendekat ke arah gue dengan wajah yang menampakkan penyesalan yang mendalam.
“Sori, Cin! Gue cuma main-main. Nggak bermaksud melanggar privacy lo. Lagian, nge-fan sama Denny menurut gue hal yang wajar. Denny bintang sinetron, cakep, tajir. Yang nggak wajar, kalau orang seperti kita ini mimpi jadi pacarnya, atau malah teman dekatnya!”
Gue menghapus air mata. Mengambil dompet dari tangan Santy.
“Lo mau maafin gue kan?”
Santy nggak punya salah, gue yang terlalu cengeng mungkin. Tapi gue janji, ini air mata terakhir gue untuk Denny. Meski gue juga merasa punya kuantum semangat beberapa kali lipat, setiap habis melihat foto Denny.
“Jujur aja nih, akhir-akhir ini gue ingin dekat sama lo, tapi gue nggak tahu bagaimana caranya,” ungkapnya lagi.
Gue bisa mengerti, jika Santy ataupun teman kost gue yang lain nggak punya banyak waktu untuk bersama gue. Hampir seluruh waktuku yang di luar jam kampus, gue habisin bersama buku-buku pelajaran. Gue nggak punya waktu untuk ngerumpi, apalagi nongkrong di teras untuk cuci mata setiap ada cowok lewat. Gue selalu merasa lebih aman di kamar sendiri.
Untungnya sikap dingin gue itu tidak diartikan negatif teman-teman. Mungkin karena gue tetap menyempatkan diri untuk senyum, menyapa, bahkan dengan senang hati membantu mereka menyelesaikan tugas-tugas dari kuliah. Jadi, tidak sedikit pun ada kesan sombong yang gue tampakkan dan memang gue bukan orang seperti itu. Gue bahkan membenci orang-orang yang merasa dirinya punya segalaa-galanya, lalu menyombongkan diri.
Apalagi, alasan gue cukup meyakinkan, gue harus belajar. Lebih banyak belajar! Dan alasan itu punya hasil yang memuaskan, predikat bintang kampus tetap bisa gue pertahankan.
“Cin, boleh kan gue curhat?”
Belum juga gue iyakan permintaannya, dia sudah bertutur panjang. Mulai dari cowoknya yang tiba-tiba minta putus, hingga hubungan mama dan papanya, yang sedang kacau.
“Di rumah nggak ada kedamaian, San! Lo mungkin nggak tahu, gue ngekost di sini, bukan untuk hemat biaya transpor atau karena jauh dari kampung. Gue orang Jakarta asli. Rumah gue di Menteng. Gue ngekost di sini, karena ingin lebih dekat dengan orang lain. Punya banyak teman. Ingin berbagi!”
Emang sih mungkin gue terlalu egois selama ini. Tak pernah mau berpikir tentang orang sekitar gue. Tanpa gue sadari, Santy juga butuh teman dan selama ini gue lebih akrab dengan diri gue sendiri, dengan permasalahan gue sendiri, tanpa pernah berniat untuk membaginya, ataupun meminta orang untuk membagi kesedihannya ke gue.
Gue terjaga kini, menerima kesedihan orang lain, bukan menambah beban tapi justru meringankan karena ternyata menyadarkan gue bahwa semua orang punya masalah.
Gue ingin meraih pundak Santy, untuk berbagi, tapi suara dari luar kamar meneriakkan nama gue. Aku dapat telepon dari Denny.
“Denny siapa, Cin!”
“Denny bintang sinetron itu,” ucap gue santai.
“Dia nelepon gue?” tanyanya heran.
Gue mengangguk, lalu berlari keluar, meninggalkan dia dalam keadaan bingung. Gue memang nggak pernah cerita tentang Denny. Gue masih lebih suka menyimpannya sendiri sebagai semangat untuk gue.
“Ada perlu apa Denny nelepon lo?” tanyanya saat gue pulang dari menerima telepon.
“Dia ngajak gue buat temanin belanja. Adiknya yang cewek, yang baru aja lolos audisi jadi penyanyi beken, juga ikut!”
“Kalian akrab?” Santy semakin bingung.
Akrab? Gue juga bingung mau jawab apa. Haruskah gue jujur tentang Denny? Harusnya begitu, Santy baru saja menceritakan masalahnya untuk gue, kini giliran gue.
“Denny itu sepupu gue….”
Mata Santy terbelalak. Terlebih saat cerita gue berlanjut tentang Mama Denny, tante, adik ibu gue!
”Lo tau nggak San, nyokapnya Danny yang juga Tante gue itu judesnya minta ampun. Saat gue ke rumahnya, gue sambutannya selalu nggak welcome. Gue dan nyokap yang berkunjung ke rumahnya, disangka pengen ngutang apa lagi saat itu tiba waktunya untuk bayar uang kuliah. Dan yang betenya lagi setiap gue ke sana, dipikir minta baju bekas yang mungkin sudah nggak layak pakai buat dia. Padahal, maksud kami bukan itu. Kami hanya merasa sebagai bagian dari keluarga mereka.”
“Tapi kok, Denny dan adiknya menelepon loa untuk menemaninya belanja?”
“Karena mereka mau memperlihatkan bagaimana bebasnya mereka memakai uang.”
Bukan sekali gue diajak untuk menemani mereka belanja. Tidak tanggung-tanggung, mereka beli baju lima pasang saat gue temani belanja. Tidak pernah sekali pun menawarkan sepasang untuk gue, meskipun sebenarnya gue tidak berminat. Sebagai upah menemani jalan, gue terkadang dibekali roti bakar yang dibelinya di kaki lima. Seolah menurutnya, sepupu dengan mereka yang selebritis, sudah anugerah besar untuk gue.
“Trus kenapa lo mau menyimpan foto Denny dalam dompet???”
Bukan untuk gue banggain bahwa dia sepupunya gue. Tapi untuk memberi gue semangat. Setiap melihat fotonya, gue selalu terpacu untuk menjadi yang terbaik. Gue nggak boleh terus-terusan dianggapnya sampah. Gue harus mengangkat diri sendiri! Gue yakin, untuk menjadi orang yang dibanggakan, diidolakan, nggak harus dengan menjadi selebritis.
Santy manggut-manggut. Gue nggak tahu apa yang ada di pikirannya saat meninggalkan kamar gue. Tapi nggak lama kemudian, dia datang lagi.
“Gue cabut dulu, Cin! Gue tiba-tiba kangen pada Nyokap dan Bokap gue. Gue nggak boleh lari dari masalah. Gue harus punya semangat untuk menghadapinya, menyelesaikannya! Gue bangga sama lo, Cin. Gue mengidolakan lo!” ucapnya dalam peluk gue. Menangis!
Gue ikut menangis. Mungkin gue telah menjelek-jelekkan Denny, tapi itulah yang terjadi, itulah yang dia perlakukan untuk gue. Gue simpan menjadi obat pemacu semangat. Tanpa dendam, tanpa benci!
UG
Masih pagi. Perasaan gue baru memejamkan mata semenit lalu, setelah bangun shalat subuh tadi. Gue bahkan tertidur dengan mukena yang masih melekat di tubuhku. Biasanya suara gaduh terdengar di pondokan ini, setelah lewat dari jam enam. Tapi kini, pintu gue telah diketuk perlahan lalu digedor keras.
“Assalamualaikum! Selamat pagi!” teriak suara itu dari luar.
Gue kenal betul suara itu. Milik Santy, penghuni pondokan yang paling ribut, paling seksi, paling lucu, dan entah paling apalagi. “Pagi-pagi begini mau apa, ya?” pikir gue. Gue bahkan menutup kuping gue dengan guling. Gedoran itu semakin nggak wajar. Ada lagi yang paling khas dari diri Santy, dia selalu merasa punya ide yang heboh. Jangan-jangan pagi ini dia ingin unjuk kebolehan dengan ide hebohnya yang terbaru.
Terpaksa gue bangun. Padahal tidur pagi kali ini amat kubutuhkan sebagai suplemen. Semalam tidur gue agak larut malam karena PR mata kuliah ekonomi gue yang tumben nggak bisa gue selesaikan cepat.
“Morninggggg…..,” ributnya setelah gue bukakan pintu kamar. “Gue dari Ketok Pintu, acara reality show paling berani! Bisa ya, gue masuk?” lanjutnya dengan gaya host sebuah acara reality show, yang selalu “mengobrak-abrik” kamar selebritis.
Buset! Betul-betul cuma iseng, tak ada keperluan apa pun! Gue cuma nyengir, lalu kembali membuang tubuh gue di tempat tidur.
“Pemirsa, gue udah berhasil masuk ke kamar Cintia. Yuk, kita lihat setiap penjuru kamar bintang sinetron yang lagi naik pohon ini, eh naik daun,”
“Nggak lucu tau!” ketus gue sambil menutup telinga dengan guling.
Santy tetap beraksi. Gue dengar dia ceplas-ceplos, menerangkan seluruh isi kamar. Mulai dari meja belajar yang berdampingan dengan lemari pakaian yang katanya terlalu kecil untuk mahasiswi seperti gue. Meski kesal, gue kagum juga dengan ceplas-ceplosnya yang persis dengan presenter Okky Lukman.
“Pemirsa di rumah, mau tahu apa aja isi lemari Cintia? Yuk, kita buka!”
Gue dengar engsel pintu lemariku berderit. Tapi gue belum juga menggubrisnya. Toh, nggak ada barang rahasia di dalamnya.
“Woooww…!” Tiba-tiba dia berteriak. Memaksa gue untuk bangkit dari tempat tidur. Dompet gue sudah ada berada di tangannya.
“Jangan dibuka, San!”
“Ternyata isinya, ada kartu perpustakaan kampus, kartu perpustakaan wilayah, kartu member taman bacaan. Nggak salah deh kalo si Cintia ini jadi bintang kampus tiap tahunnya. Tapi jangan salah, kartu ATM tetap ada lho!”
Gue tak bisa menghalangi aksinya, dia selalu berhasil menghindar setiap gue mendekat untuk mengambil dompet gue.
“Dan pemirsa di rumah,” ucapnya seolah menghadap ke sebuah kamera. “Ternyata Santy bintang pelajar kita ini, nge-fan berat sama Denny. Itu lho, pendatang baru di dunia sinetron.” lanjutnya sambil memperlihatkan foto Denny yang memang sengaja kusimpan di dompet gue.
Melihat foto Denny, air mata gue tiba-tiba meluruh begitu saja. Santy langsung menghentikan aksinya. Bahkan mendekat ke arah gue dengan wajah yang menampakkan penyesalan yang mendalam.
“Sori, Cin! Gue cuma main-main. Nggak bermaksud melanggar privacy lo. Lagian, nge-fan sama Denny menurut gue hal yang wajar. Denny bintang sinetron, cakep, tajir. Yang nggak wajar, kalau orang seperti kita ini mimpi jadi pacarnya, atau malah teman dekatnya!”
Gue menghapus air mata. Mengambil dompet dari tangan Santy.
“Lo mau maafin gue kan?”
Santy nggak punya salah, gue yang terlalu cengeng mungkin. Tapi gue janji, ini air mata terakhir gue untuk Denny. Meski gue juga merasa punya kuantum semangat beberapa kali lipat, setiap habis melihat foto Denny.
“Jujur aja nih, akhir-akhir ini gue ingin dekat sama lo, tapi gue nggak tahu bagaimana caranya,” ungkapnya lagi.
Gue bisa mengerti, jika Santy ataupun teman kost gue yang lain nggak punya banyak waktu untuk bersama gue. Hampir seluruh waktuku yang di luar jam kampus, gue habisin bersama buku-buku pelajaran. Gue nggak punya waktu untuk ngerumpi, apalagi nongkrong di teras untuk cuci mata setiap ada cowok lewat. Gue selalu merasa lebih aman di kamar sendiri.
Untungnya sikap dingin gue itu tidak diartikan negatif teman-teman. Mungkin karena gue tetap menyempatkan diri untuk senyum, menyapa, bahkan dengan senang hati membantu mereka menyelesaikan tugas-tugas dari kuliah. Jadi, tidak sedikit pun ada kesan sombong yang gue tampakkan dan memang gue bukan orang seperti itu. Gue bahkan membenci orang-orang yang merasa dirinya punya segalaa-galanya, lalu menyombongkan diri.
Apalagi, alasan gue cukup meyakinkan, gue harus belajar. Lebih banyak belajar! Dan alasan itu punya hasil yang memuaskan, predikat bintang kampus tetap bisa gue pertahankan.
“Cin, boleh kan gue curhat?”
Belum juga gue iyakan permintaannya, dia sudah bertutur panjang. Mulai dari cowoknya yang tiba-tiba minta putus, hingga hubungan mama dan papanya, yang sedang kacau.
“Di rumah nggak ada kedamaian, San! Lo mungkin nggak tahu, gue ngekost di sini, bukan untuk hemat biaya transpor atau karena jauh dari kampung. Gue orang Jakarta asli. Rumah gue di Menteng. Gue ngekost di sini, karena ingin lebih dekat dengan orang lain. Punya banyak teman. Ingin berbagi!”
Emang sih mungkin gue terlalu egois selama ini. Tak pernah mau berpikir tentang orang sekitar gue. Tanpa gue sadari, Santy juga butuh teman dan selama ini gue lebih akrab dengan diri gue sendiri, dengan permasalahan gue sendiri, tanpa pernah berniat untuk membaginya, ataupun meminta orang untuk membagi kesedihannya ke gue.
Gue terjaga kini, menerima kesedihan orang lain, bukan menambah beban tapi justru meringankan karena ternyata menyadarkan gue bahwa semua orang punya masalah.
Gue ingin meraih pundak Santy, untuk berbagi, tapi suara dari luar kamar meneriakkan nama gue. Aku dapat telepon dari Denny.
“Denny siapa, Cin!”
“Denny bintang sinetron itu,” ucap gue santai.
“Dia nelepon gue?” tanyanya heran.
Gue mengangguk, lalu berlari keluar, meninggalkan dia dalam keadaan bingung. Gue memang nggak pernah cerita tentang Denny. Gue masih lebih suka menyimpannya sendiri sebagai semangat untuk gue.
“Ada perlu apa Denny nelepon lo?” tanyanya saat gue pulang dari menerima telepon.
“Dia ngajak gue buat temanin belanja. Adiknya yang cewek, yang baru aja lolos audisi jadi penyanyi beken, juga ikut!”
“Kalian akrab?” Santy semakin bingung.
Akrab? Gue juga bingung mau jawab apa. Haruskah gue jujur tentang Denny? Harusnya begitu, Santy baru saja menceritakan masalahnya untuk gue, kini giliran gue.
“Denny itu sepupu gue….”
Mata Santy terbelalak. Terlebih saat cerita gue berlanjut tentang Mama Denny, tante, adik ibu gue!
”Lo tau nggak San, nyokapnya Danny yang juga Tante gue itu judesnya minta ampun. Saat gue ke rumahnya, gue sambutannya selalu nggak welcome. Gue dan nyokap yang berkunjung ke rumahnya, disangka pengen ngutang apa lagi saat itu tiba waktunya untuk bayar uang kuliah. Dan yang betenya lagi setiap gue ke sana, dipikir minta baju bekas yang mungkin sudah nggak layak pakai buat dia. Padahal, maksud kami bukan itu. Kami hanya merasa sebagai bagian dari keluarga mereka.”
“Tapi kok, Denny dan adiknya menelepon loa untuk menemaninya belanja?”
“Karena mereka mau memperlihatkan bagaimana bebasnya mereka memakai uang.”
Bukan sekali gue diajak untuk menemani mereka belanja. Tidak tanggung-tanggung, mereka beli baju lima pasang saat gue temani belanja. Tidak pernah sekali pun menawarkan sepasang untuk gue, meskipun sebenarnya gue tidak berminat. Sebagai upah menemani jalan, gue terkadang dibekali roti bakar yang dibelinya di kaki lima. Seolah menurutnya, sepupu dengan mereka yang selebritis, sudah anugerah besar untuk gue.
“Trus kenapa lo mau menyimpan foto Denny dalam dompet???”
Bukan untuk gue banggain bahwa dia sepupunya gue. Tapi untuk memberi gue semangat. Setiap melihat fotonya, gue selalu terpacu untuk menjadi yang terbaik. Gue nggak boleh terus-terusan dianggapnya sampah. Gue harus mengangkat diri sendiri! Gue yakin, untuk menjadi orang yang dibanggakan, diidolakan, nggak harus dengan menjadi selebritis.
Santy manggut-manggut. Gue nggak tahu apa yang ada di pikirannya saat meninggalkan kamar gue. Tapi nggak lama kemudian, dia datang lagi.
“Gue cabut dulu, Cin! Gue tiba-tiba kangen pada Nyokap dan Bokap gue. Gue nggak boleh lari dari masalah. Gue harus punya semangat untuk menghadapinya, menyelesaikannya! Gue bangga sama lo, Cin. Gue mengidolakan lo!” ucapnya dalam peluk gue. Menangis!
Gue ikut menangis. Mungkin gue telah menjelek-jelekkan Denny, tapi itulah yang terjadi, itulah yang dia perlakukan untuk gue. Gue simpan menjadi obat pemacu semangat. Tanpa dendam, tanpa benci!
UG